Anak, Kemiskinan, dan Prostitusi

Kemiskinan dan pengangguran hingga kini masih menjadi isu utama mengiringi Indonesia yang sedang berupaya menuju proses perbaikan.

Setidaknya, 37,4 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut belum termasuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.
Dampak sosial yang terlihat jelas dan nyata adalah mereka, orang-orang miskin tersisih dalam pembangunan.

Salah satunya adalah prostitusi anak. Prostitusi anak adalah tindakan mendapatkan atau menawarkan jasa seksual seorang anak oleh seseorang atau kepada orang lainnya dengan imbalan uang atau imbalan lainnya.

Bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak lainnya adalah perdagangan anak untuk tujuan seksual dan pornografi anak.
Laporan Jaap E Doek, Unicef, dan End Child Prostitution Child Pornography and The Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) menyebutkan, perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual di Asia mengorbankan 30 juta orang, termasuk untuk prostitusi.

Prostitusi tersebut dimulai dari bentuk pelecehan dan kekerasan seksual seperti dicolek, diraba-raba, dan diperkosa. Apalagi anak jalanan perempuan sering mengalami kekerasan seksual, seperti pelecehan, perkosaan, penganiayaan, hingga akhirnya terjerumus ke dunia prostitusi.

Mereka dapat dibedakan berdasarkan waktu dan kegiatan, yaitu anak yang sepenuhnya melakukan kegiatan prostitusi dan anak yang melakukan kegiatan lain di jalanan untuk mendapatkan uang yang kadang-kadang juga melakukan prostitusi.

Menurut ECPAT, prostitusi anak karena eksploitasi seksual terjadi karena kemiskinan, disfungsi keluarga, pendidikan rendah, pengangguran, penghasilan kurang, tradisi, dan peningkatan kebutuhan perempuan muda pada industri seks.
Sari sebab-sebab tersebut, kemiskinan merupakan faktor utama dan kontributor terbesar kasus eksploitasi seks pada anak dan kunci yang mendorong mereka berprofesi menjadi anak jalanan. Anak-anak yang tereksploitasi secara seksual mempunyai mobilitas tinggi dan mereka yang sudah terperangkap sulit keluar karena sering kali teman dan lingkungan masyarakat bersikap menghakimi.

Rendahnya pengetahuan orangtua akan hak asasi anak menyebabkan orangtua pun mengorbankan anaknya.
Keterpaksaan itu lama-kelamaan berubah menjadi hobi yang dapat membebaskan mereka dalam melawan arus kehidupan. Akhirnya, anak-anak itu lebih mengharapkan uang dibandingkan pergi ke sekolah karena pemikiran dan pemahaman yang demikian telah terpola dan menjadi kultur anak jalanan.

Di Indonesia Laporan Unicef tahun 1998 memperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual yang dilacurkan mencapai 40.000- 70.000 anak yang tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk anak jalanan di dalamnya.

Bukan hanya di dalam negeri. Di luar negeri, seperti Malaysia, seperti ditegaskan Khofifah ketika menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 62,5 persen pekerja seks komersial (PSK) adalah orang Indonesia.
Yang lebih memilukan, 80 persen di antara PSK itu anak-anak. Permasalahan sosial anak yang demikian seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah dan segenap elemen masyarakat yang sadar akan pentingnya hak anak untuk segera bersikap dan melakukan tindakan nyata.

Pasal 63-66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara khusus menyatakan, anak-anak berhak dilindungi dari berbagai sebab, baik eksploitasi ekonomi, eksploitasi dan penyalahgunaan secara seks, penculikan, perdagangan, obat-obatan, dan penggunaan narkoba, dilindungi selama proses hukum.

Undang-Undang Perlindungan Anak memberi jaminan lebih baik, terutama pada ancaman atas tindakan pidana terhadap anak. Bahkan ditegaskan dalam Pasal 88 (BAB XII mengenai Ketentuan Pidana), setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 200 juta rupiah.
Apakah landasan hukum dapat menjadi solusi permasalahan anak? Ternyata penegak hukum lebih kerap memakai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki beberapa kelemahan.

Untuk itu perlu mengamandemen peraturan perundangan yang bertentangan dengan hak anak disertai peraturan dan hukum yang terkait antarnegara.

Kedua, memberi pemerataan akses pelayanan pendidikan, kesehatan, hukum, dan transportasi kepada seluruh anak Indonesia.

Ketiga, orangtua dan masyarakat juga harus mendapat pengetahuan dan pemahaman tentang HAM.
Pencegahan dan intervensi dini di tingkat keluarga dan komunitas dapat mengurangi risiko anak menjadi korban perdagangan dan eksploitasi seks.

Keempat, otonomi daerah hendaknya mampu mendorong pemerintah daerah membuka kesempatan kerja, terutama di pedesaan, dalam upaya memperbaiki ekonomi keluarga.

Kelima, diperlukan koordinasi dan membangun sistem jaringan antara pemerintah pusat-daerah, swasta, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, baik lokal, bilateral, maupun multilateral, terutama pengawasan terhadap agen yang merekrut tenaga kerja.

Terakhir, perguruan tinggi sebagai pusat advokasi, sosialisasi, dan rujukan tentang perlindungan dan kesejahteraan perempuan dan anak perlu lebih berperan dalam meredefinisi dan merekonstruksi pandangan menghakimi pada korban eksploitasi seksual pada anak.

Penulis : Muh Ivan Azhari Anggota Kajian Pendidikan Emansipatoris Universitas Negeri Jakarta Sumber:Kompas, Senin, 17 Desember 2007